"Bagaimana cara membangun jembatan itu ? Kau tau ?" Tanyanya sembari menudingkan telunjuk ke arah timur. Lautan lepas yang membentang luas. Terbujur bangunan gagah sebagai penghantar sini menuju ke sana. Hei kau tahu aku bagaimana ?
"Dari tengah!!!" Sergahku tanpa berpikir panjang. Topan itu tak terduga, ia penuh kejutan dan tanda tanya. Kadang aku takut sodara. Sungguh terkadang ia ikuti alurku, tak jarang ia menolak jalanku. Tiada masalah jeritku dalam hati, tapi bukankah cinta itu seirama ? Aku merasa kita tak sering seirama. Kau lebih suka dengan irama cadas dengan lirik ironi. Sedang jiwaku memilih syahdu dengan lirik mendayu haru.
Tunggu dulu, si topan cadas itu berdarah jawa kental manis persis kita sama. Ia beraliran nafas petualang, baiklah ini sama. Dia bertatapan tajam menukik dengan gelagat mempesona, ya itu yang aku suka. Namun perasaan itu bukan logika matematika maupun formula fisika. Bukan pula angka yang bisa dihitung dan alphabet yang mampu ku baca.
Waktu demi waktu, hari demi hari hingga waktu itu tiba. Badai tetiba datang dengan berita, petir menyambar bagai samurai naga, Tsunami. Luluh lantah. Kalian pasti tau betapa kecewanya hati seorang wanita mana kala diposisikan sebagai percabangan? Ya, Kiamat.
Bagai debu yang tiada arti
Tersungkur layu tiada lagi berseri
Melebur hancur seperti deburan ombak tepian pantai
Meledak, kadang suram
Meledak, tak jarang hilang
Berdebum kencang namun senyap
Membara besar tapi tiada temaram
Ya kali ini aku kalah dalam hati
nestapa lara dalam jiwa
Namun aku bangga aku kalah dipertempuran
Meski mati terhunus pedang
Setidaknya aku tak lari dari kenyataan
Bagai debu yang tiada arti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar